Selasa, 26 Mei 2009

KETIKA

“Kepala batuuuuu…”
Teriakan itu terus terngiang di telingaku. Jelas. Sangat jelas. Meski kata-kata itu sudah 1 bulan berlalu. Kata-kata yang tak pernah ku sangka menjadi kata terakhir yang keluar dari mulut Reza. Panggilan sayangnya padaku.
Pandanganku selalu menerawang jauh bila kejadian itu hinggap lagi di benakku. Pertengkaranku dengan Reza terjadi begitu saja. Ya, pertengkaran yang akhirnya membawa pergi sebentuk hatiku, kini… hatiku hanya tinggal kepingan yang tak berarti.
“Kita mesti putus,” bibirku bergetar.
Reza menatapku sayang lalu tangannya ringan menjitak kepalaku. “Jangan mulai lagi, kepala batuku sayang…”
“Kali ini aku serius. Kita memang benar-benar mesti putus!” kataku meyakinkan seraya menghindari tatapannya.
Reza diam, kekecewaanya begitu tampak pada rautnya yang lembut.
“Kamu diam, berarti gak ada yang mesti aku jelasin.” Aku beranjak dari dudukku, sebentar aku menenangkan hati berusaha menahan air mataku. Kakiku melangkah pergi meninggalkan Reza yang masih tetap membisu. Tanpa ku tau tiba-tiba tubuhku jatuh dalam dekapan Reza, tangannya erat menahan tubuhku. Dan tangisku pun meledak.
“Apapun alasannya aku tetap gak akan pernah setuju.” Bisiknya lirih. Lirih, sampai menyayat hatiku.
Entah kekuatan apa yang kumiliki, kulepas dekapannya mendorongnya menjauhiku. “Kamu salah! Apapun alasannya kamu mesti setuju!! Nina butuh kamu, aku akan jauh lebih baik kalau kehilangan kamu dibanding Nina.” Suaruku meninggi.
Wajahnya berubah garang, tapi sorotan matanya tampak begitu pilu. ”Hanya karena jantung?” kedua alisnya terangkat menanti jawabku.
“Jawab Luna… jawab kepala batu!!” ia mempertegas kalimatnya.
Aku menggeleng.
Matanya berkaca, “Bukan aku obatnya, ada atau gak ada aku di dekatnya jantung Nina gak akan berubah. Aku mohon buang kepala batumu itu.” Pintanya memelas.
Sama sekali aku tak bisa menjawab, ini memang keterlaluan aku hanya memikirkan egoku. Tapi gimana mungkin, aku tega tetap bersama Reza sedang Nina? Nina saudara kembarku yang mesti merasakan dua kesedihan dalam hidupnya. Memang aku yang pertama bertemu dan dekat dengan Reza. Tapi hatiku lebih terasa sakit setiap melihat Nina tersiksa merasakan penyakitnya.
“Dia saudaraku, gak salahkan kalau aku berkorban demi dia?” dadaku sesak. “Aku jauh lebih beruntung dari pada dia, jantungnya mungkin tak bisa lagi diobati tapi paling gak ada kegembiraan yang menyelimutinya.” Ku buang nafas keras-keras.
“Apa kegembiraan itu harus ngorbanin perasaanku?” pandangannya hampa.
Hatiku benar-benar tersayat mendengar ucapannya. “Aku gak minta banyak Re, hanya sedikit pengorbanan darimu.” Suaruku parau.
“Maaf, aku tetap gak bisa…”
Aku kalap, “Egois!! Aku kecewa sama kamu!” aku berlari meninggalkan Reza. Tangisku kian jadi, telingaku seakan hanya mendengar isak tangisku. Namun… satu teriakan jelas ku tangkap.
“Kepala batuuuuuuuuu….” BRAAAK!!!
Kakiku terhenti seketika, kutoleh asal suara yang meneriakkan panggilan sayang Reza pada ku. Tubuhku lemas. Gelap. Sunyi.
Aku kira aku jauh lebih baik dari Nina jika kehilangan Reza. Tapi… saat ini aku terpuruk, bergelut setiap waktu dengan dunia yang sama sekali tidak ramah padaku. Aku DEPRESI BERAT setelah kematian Reza ketika itu. Ketika Reza di dekatku, ketika Reza menatapku, ketika Reza memanggilku dan ketika waktu berhenti… seketika hanya tampak pudar.

Jumat, 15 Mei 2009

KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP PUNDEN BEJI SARI



ASAL-USUL PUNDEN BEJI SARI

          Punden Beji Sari yang terletak di jalan Vinolia, Candi Panggung-Kelurahan Mojolangu-Kecamatan Lowokwaru merupakan sebuah Situs Patirthan yang sekaligus peninggalan kerajaan Kanjuruhan. Di tengah-tengah Punden Beji Sari tersebut terdapat telaga kecil yang di bagian pinggir banyak terdapat bata merah kuno. Situs Beji Sari berhubungan erat dengan suatu tempat suci atau bangunan candi, karena di sekitarnya terdapat toponim seperti Bioro (Wihara), Bukur (rumah panggung) dan Panggung (rumah bertingkat atau menjulang) yang kesemuanya itu mengarah pada suatu tempat atau bangunan suci masa lampau (candi). Di mana dari toponim tersebut menjadi nama daerah atau wilayah disekitar Punden Beji Sari yaitu wilayah Bioro atau yang saat ini lebih dikenal dengan nama jalan Vinolia, wilayah Bukur yang diberi nama jalan Simpang Candi Panggung Barat, dan wilayah Panggung yang mencakup Punden Beji Sari ini dikenal dengan jalan Simpang Candi Panggung. Nama Beji Sari sendiri konon berasal dari kisah seseorang yang bernama Mbah Beji Sari yang “mbaurekso” (menguasai) daerah tersebut dan merawat telaga air tersebut dan diberi nama Punden Beji Sari. Nama Beji sendiri berarti sendang atau kolam air. 
 Punden Beji Sari sendiri telah diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai tempat yang dikeramatkan dan diagungkan. Setiap tahun pada bulan suro warga Simpang Candi Panggung selalu melakukan bersih desa yang diberi nama candi morop (di atas tumpeng diberi bambu yang berapi) dengan diiringi tarian tradisional (jaran kepang, tayub, ludruk, wayangan) dan diiringi dengan kelompok terbang jidor, membawa sejumlah tumpeng dan sesajen ke Punden Beji Sari. Namun, saat ini kesenian tersebut tidak lagi dilakukan hanya kirap tumpeng ke Punden Beji Sari dengan diiringi terbang jidor. Sebelum melakukan bersih desa, warga setempat menguras telaga kecil tersebut terlebih dahulu. Warga Simpang Candi Panggung percaya bahwa tempat tersebut dapat membawa keberkahan seperti keselamatan bagi warga setempat. Maka dari itu tempat tersebut selain untuk tempat ritual masayarakat sekitar tetapi juga untuk mencari pesugihan yang biasanya dilakukan pada jumat legi pada batu yang terletak di bawah pohon besar di sebelah selatan telaga, tidak hanya berkunjung tetapi waktu subuh harus memberi sesajen dan membakar kemenyan. Namun, anehnya bukan warga Simpang Candi Panggung yang melakukannya tetapi warga luar Simpang Candi Panggung. Sebab, warga Simpang Candi Panggung tahu pantangan-pantangan apa saja yang ada di Punden tersebut. Pantangan-pantangan tersebut seperti tidak diperbolehkannya mengambil apapun dari Punden Beji Sari (ikan, kayu atau dahan pohon). Konon ada seseorang warga setempat yang memancing ikan di tempat tersebut sesampainya di rumah, ikan tersebut digoreng tetapi bukan jadi ikan goreng melainkan menjadi sampah daun. Apabila ada orang yang mengambil potongan kayu dan dibakar maka pakaian orang tersebut juga akan ikut terbakar. Untuk ritual seperti pesugihan warga Simpang Candi Panggung tidak pernah melakukannya sebab warga setempat tahu akibat yang akan ditanggung setelah melakukan ritual pesugihan yaitu hidung orang tersebut akan tumbuh daging panjang (dhaler) yang akan keluar jika ada orang yang bertamu ke rumahnya dan akan hilang jika tidak ada orang yang bertamu. Hal ini seperti yang dikatakan oleh informan sebagai berikut.
 Wong Panggung enthok tirakat ndek kono, yo diwehi tapi diwenehi daler. Wong Batu mesti ngilokno wong Panggung iku goblok. Wong ndek kulone nggene ndunyo. Lapo angel-angel golek duwek. Wong Batu ora ngerti lek mari njaok pesugihan irunge wonge cukul daging molor (daler). Lek ono tamu daging molor ndek irunge metu tapi lek gak ono tamu yo gak metu dalere. Lapo sugih tapi irunge molor?
Selain pantangan-pantangan di atas ada keajaiban yang terdapat pada Punden Beji Sari yaitu air dalam telaga tidak akan pernah meluap dan tidak akan pernah surut, meski saat musim hujan maupun saat musim kemarau. Padahal telaga tersebut tidak besar hanya telaga kecil yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar. 



PERLAKUAN KHUSUS MASYARAKAT TERHADAP PUNDEN BEJI SARI 


Perlakuan khusus yang diberikan warga masyarakat setempat terhadap keberadaan Punden Beji Sari yaitu dengan tetap menjaga kebersihan lingkungan sekitar Punden Beji Sari, setiap tahun pada bulan suro diadakannya ritual bersih desa diberi nama candi morop (di atas tumpeng diberi bambu yang berapi) dengan diiringi tarian tradisional (jaran kepang, tayub, ludruk, wayangan) dan sekarang berganti diiringi dengan kelompok terbang jidor, membawa sejumlah tumpeng dan sesajen ke Punden Beji Sari. 
Sebelum ritual itu dilakukan, warga setempat terlebih dahulu menguras telaga tersebut hingga bersih barulah keesokan harinya ritual bersih desa dilakukan. Pada acara atau ritual tersebut terdapat keanehan bahwa setelah dikuras air dalam telaga tersebut penuh terisi oleh air kembali dengan sendirinya tanpa ada orang yang mengisi. Namun, warga setempat sudah tidak heran dengan keanehan tersebut karena selain hal itu sudah terbiasa mereka jumpai, keanehan tersebut mendorong warga setempat untuk memperlakukannya secara khusus juga percaya bahwa tempat tersebut suci dan mengandung hal-hal yang mistik.
Oleh sebab itu, dengan melakukan bersih desa yang dilakukan setiap tahunnya sebagai perlakuan khusus Warga Simpang Candi Panggung terhadap keberadaan Punden Beji Sari, warga setempat percaya bahwa Punden Beji Sari akan memberikan keberkahan dan sekaligus kehidupan seluruh warga Simpang Candi Panggung akan aman dan tentram. Warga setempat percaya jika tidak melakukan bersih desa maka akan terjadi malapetaka seperti wabah penyakit yang bisa menyerang warga setempat.

KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP PUNDEN BEJI SARI


 Kepercayaan warga masyarakat setempat terhadap keberadaan Punden Beji Sari ini selain didasari oleh cerita asal-usulnya juga didasari oleh pantangan-pantangan yang ada. Pantangan-pantangan itu antara lain tidak boleh mengambil ikan, air, tidak boleh menebang pohon, tidak boleh mendirikan bangunan di sekitar area dan tidak boleh mengotori tempat tersebut. 
Pada tahun 1960-an pantangan-pantangan tersebut pernah dilanggar oleh warga setempat. Warga setempat menceritakan bahwa ada seseorang yang memancing ikan di Punden Beji Sari, sepulang dari memancing ikan tersebut digoreng namun bukan menjadi ikan goreng malah menjadi sampah dedaunan. Selain itu jika ada orang yang menebang pohon di tempat tersebut maka akan celaka dan jika mengambil dahannya lalu membakarnya bajunya akan ikut terbakar. Pada tahun 1960-an juga, warga kampung sebelah Candi Panggung menebang pohon yang berada di sekitar punden, karena warga tersebut tidak percaya akan keistimewaan punden tersebut. Dampaknya, setiap dua hari sekali warga Candi Panggung ada yang meninggal.  
Berawal dari mitos-mitos warga Simpang Candi Panggung telah sepakat untuk selalu mentaati pantangan-pantangan yang juga telah diyakini oleh warga setempat. Warga setempat juga mempercayai bahwa Punden Beji Sari adalah tempat suci dan mengandung hal-hal mistik. Masyarakat setempat percaya bahwa Punden Beji Sari tersebut dapat membawa keberkahan dan keselamatan bagi masyarakat setempat. Oleh sebab itu masyarakat setempat setiap tahun pada bulan suro melakukan ritual bersih desa yang diberi nama candi morop dengan mengarak sejumlah tumpeng menuju ke Punden Beji Sari. Masyarakat setempat percaya bahwa jika tidak melakukan ritual-ritual tersebut akan membawa bencana atau malapetaka.