“Kepala batuuuuu…”
Teriakan itu terus terngiang di telingaku. Jelas. Sangat jelas. Meski kata-kata itu sudah 1 bulan berlalu. Kata-kata yang tak pernah ku sangka menjadi kata terakhir yang keluar dari mulut Reza. Panggilan sayangnya padaku.
Pandanganku selalu menerawang jauh bila kejadian itu hinggap lagi di benakku. Pertengkaranku dengan Reza terjadi begitu saja. Ya, pertengkaran yang akhirnya membawa pergi sebentuk hatiku, kini… hatiku hanya tinggal kepingan yang tak berarti.
“Kita mesti putus,” bibirku bergetar.
Reza menatapku sayang lalu tangannya ringan menjitak kepalaku. “Jangan mulai lagi, kepala batuku sayang…”
“Kali ini aku serius. Kita memang benar-benar mesti putus!” kataku meyakinkan seraya menghindari tatapannya.
Reza diam, kekecewaanya begitu tampak pada rautnya yang lembut.
“Kamu diam, berarti gak ada yang mesti aku jelasin.” Aku beranjak dari dudukku, sebentar aku menenangkan hati berusaha menahan air mataku. Kakiku melangkah pergi meninggalkan Reza yang masih tetap membisu. Tanpa ku tau tiba-tiba tubuhku jatuh dalam dekapan Reza, tangannya erat menahan tubuhku. Dan tangisku pun meledak.
“Apapun alasannya aku tetap gak akan pernah setuju.” Bisiknya lirih. Lirih, sampai menyayat hatiku.
Entah kekuatan apa yang kumiliki, kulepas dekapannya mendorongnya menjauhiku. “Kamu salah! Apapun alasannya kamu mesti setuju!! Nina butuh kamu, aku akan jauh lebih baik kalau kehilangan kamu dibanding Nina.” Suaruku meninggi.
Wajahnya berubah garang, tapi sorotan matanya tampak begitu pilu. ”Hanya karena jantung?” kedua alisnya terangkat menanti jawabku.
“Jawab Luna… jawab kepala batu!!” ia mempertegas kalimatnya.
Aku menggeleng.
Matanya berkaca, “Bukan aku obatnya, ada atau gak ada aku di dekatnya jantung Nina gak akan berubah. Aku mohon buang kepala batumu itu.” Pintanya memelas.
Sama sekali aku tak bisa menjawab, ini memang keterlaluan aku hanya memikirkan egoku. Tapi gimana mungkin, aku tega tetap bersama Reza sedang Nina? Nina saudara kembarku yang mesti merasakan dua kesedihan dalam hidupnya. Memang aku yang pertama bertemu dan dekat dengan Reza. Tapi hatiku lebih terasa sakit setiap melihat Nina tersiksa merasakan penyakitnya.
“Dia saudaraku, gak salahkan kalau aku berkorban demi dia?” dadaku sesak. “Aku jauh lebih beruntung dari pada dia, jantungnya mungkin tak bisa lagi diobati tapi paling gak ada kegembiraan yang menyelimutinya.” Ku buang nafas keras-keras.
“Apa kegembiraan itu harus ngorbanin perasaanku?” pandangannya hampa.
Hatiku benar-benar tersayat mendengar ucapannya. “Aku gak minta banyak Re, hanya sedikit pengorbanan darimu.” Suaruku parau.
“Maaf, aku tetap gak bisa…”
Aku kalap, “Egois!! Aku kecewa sama kamu!” aku berlari meninggalkan Reza. Tangisku kian jadi, telingaku seakan hanya mendengar isak tangisku. Namun… satu teriakan jelas ku tangkap.
“Kepala batuuuuuuuuu….” BRAAAK!!!
Kakiku terhenti seketika, kutoleh asal suara yang meneriakkan panggilan sayang Reza pada ku. Tubuhku lemas. Gelap. Sunyi.
Aku kira aku jauh lebih baik dari Nina jika kehilangan Reza. Tapi… saat ini aku terpuruk, bergelut setiap waktu dengan dunia yang sama sekali tidak ramah padaku. Aku DEPRESI BERAT setelah kematian Reza ketika itu. Ketika Reza di dekatku, ketika Reza menatapku, ketika Reza memanggilku dan ketika waktu berhenti… seketika hanya tampak pudar.
Selasa, 26 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar